IKLAN


 

Diduga Atensi Lebih Besar Daripada Pungutan Pajak

Audiensi DPD APTI Blora tuntut revisi Perda RTRW yang tidak memasukkan kawasan potensi pertambangan mineral dan batuan bukan logam.

"Pèrwakilan BPPKAD Blora mengungkapkan bahwa target perolehan pajak galian C tahun ini hanya Rp. 120 Juta, dari dua penambang resmi di Todanan, lalu bagaimana yang ilegal? Diduga nilai atensinya lebih besar dari puluhan penambangan liar"

Foto bersama Pengurus APTI Blora dengan DPRD Kabupaten Blora usai audiensi

Audiensi APTI Blora
BLORA, ME - Belasan Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pengusaha Tambang Indonesia (DPD APTI) Kabupaten Blora, datangi Gedung Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Blora, untuk menggelar audiensi dengan Pimpinan dan Komisi B, membahas isu revisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah.

Pada hari, Selasa kemarin (25/6/2024) Wakil Ketua DPRD Blora dari Partai Golkar, Siswanto yang didampingi Ketua Komisi B, Yuyus Waluyo dari Nasdem, bersama Abdullah Aminuddin dan Munawar dari PKB, Jayadi dari Gerindra dan Ir. Siswanto yang juga dari Partai Golkar, menerima permohonan audiensi dari DPD APTI Kabupaten Blora.

"Hari ini kami menerima para Pengurus DPD APTI Kabupaten Blora yang ingin menyampaikan aspirasi terkait perlunya revisi Perda nomor 5 tahun 2021, terkait RTRW yang dianggap merugikan para pelaku usaha pertambangan karena pengajuan ijin produksinya, ditolak oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi Jateng, akibat ketidaksesuaian Perda RTRWnya" ungkap Wakil Ketua DPRD Blora, Siswanto.

Minta Pemkab Serius 
Sementara itu, di saat yang sama Pengurus APTI Blora Koordinator Bidang Humas, Bambang Sartono, meminta agar Pemerintah Kabupaten Blora serius untuk menyelesaikan revisi Perda RTRW tersebut, karena menyangkut nasib para pelaku usaha tambang di Blora, dan hilangnya potensi Pendapatan Asli Daerah yang bernilai milyaran rupiah per tahunnya.

"Kami meminta Pemkab dan DPRD Blora serius menyelesaikan revisi perda yang mandul ini, karena nasib usaha penambangan tergantung di sini, ada 18 ijin yang mandek, karena ketidaksesuaian Perda RTRW ini, akibat yang lain Pemkab Blora melewatkan potensi PAD milyaran rupiah per tahun, akibat dari maraknya pertambangan ilegal, dan ironisnya justru menghancurkan infrastruktur jalan," beber Bang Ton, panggilan akrab mantan wartawan senior Wawasan ini.

Minimnya pajak galian C yang masuk dalam PAD Blora pun terkonfirmasi oleh perwakilan dari Badan Pengelola Pendapatan Keuangan Dan Aset Daerah (BPPKAD) Blora, Meita yang memaparkan nilai perolehan pajak tersebut tahun ini diturunkan dari 25% menjadi hanya 20%, atau dengan nominal sebesar Rp. 120 Juta per tahun ini. 

"Tahun ini target pajak galian C kami diturunkan hanya sebesar 20% dari sebelumnya 25%, atau hanya sebesar Rp. 120 Juta per tahun, yang dipungut hanya dari dua pengusaha tambang yang memiliki ijin operasional dari Todanan, kami berharap bisa ditingkatkan jika makin banyak pengusaha tambang yang resmi," ujar Meita. 

Atensi Lebih Besar
Dan itu sungguh ironis pajak yang dipungut hanya dari dua pengusaha tambang resmi memiliki ijin, sementara ada puluhan penambang liar yang bebas mengeruk galian C Blora tanpa membayar pajak. Diduga ada pemberian pungutan liar kepada oknum - oknum yang tidak bertanggungjawab.

Hal itu terbukti, maraknya pertambangan ilegal yang beroperasi di Wilayah Kabupaten Blora, tanpa ada pihak berwenang yang mampu menghentikan, baik itu APH maupun Pemerintah Kabupaten Blora. Semua seakan tutup mata dan telinga melihat kerusakan alam akibat dari pertambangan yang serampangan itu.

Pengamat Ekonomi dan Sosial Blora, Kurnia Adi menyampaikan bahwa tidak ada upaya penghentian tethadap penambangan ilegal oleh Aparat Pemkab maupun APH Blora. Diduga ada atensi yang besar kepada pihak - pihak tersebut, yang nilainya fantastis melebihi dari pungutan pajak oleh BPPKAD. (Rome)

Posting Komentar

0 Komentar