IKLAN




 

Rame - Rame Manfaatkan Tahun Politik

Kontingen Kades Blora akan bertolak ke Jakarta untuk demo revisi UU Desa

"Entah ini suatu kecerdasan atau memang momentumnya yang tepat, rame - rame para Kades memanfaatkan tahun politik untuk menuntut revisi Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa"

Puluhan ribu Kades gelar demo di depan Gedung DPR RI  tuntut revisi UU Desa

Demo Kepala Desa
Sejarah kembali berulang, puluhan ribu Kepala Desa datangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta pada hari Selasa (17/1/2023), untuk menuntut revisi Undang Undang Desa, yang dianggap tidak mencerminkan kedaulatan atas hak, status dan kewenangan mereka sebagai Kepala Desa.

Dan nampaknya, setelah berulangkali mereka berdiskusi, rapat dengar pendapat dengan Kementerian yang terkait, yaitu Kementerian Desa PDTT, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, tiga Kementerian yang berbeda. Juga tidak terbilang kali juga menaruh aspirasi dan harapannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), namun mereka merasa hanya mendapatkan kata yang sama, sudah diusulkan dalam Prolegnas prioritas.

Akhirnya bola panas itu diumpankan kembali kepada Eksekutif, bahkan dalam Rapat Dengar Pendapat terakhir pada tanggal 14/1/2023, Pimpinan Rapat Komisi II, Ahmad Doli Kurnia Tajung, meminta kepada Ketua Asosiasi Pemerintah Desa yang hadir, untuk mendesak langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Jokowi. Menurutnya, hanya Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Tertinggi di Republik ini, yang bisa menyelesaikan masalah ini.

Manfaatkan Tahun Politik
Entah ini suatu kecerdasan atau memang momentumnya yang tepat, rame - rame para Kades memanfaatkan tahun politik untuk menuntut revisi Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Beberapa point isu yang diangkat dalam tuntutan tersebut adalah yang paling krusial adalah perpanjangan masa jabatan Kepala Desa, dari enam tahun dalam tiga periode, menjadi 9 tahun dua kali periode. 

Meskipun sama jumlah masa jabatannya yaitu 18 tahun, tapi berbeda pembaginya, dengan alasan masa jabatan 9 tahun dua periode, pembangunan desa bisa lebih maksimal, dibandingkan kalau hanya 6 tahun menjabat, karena menurut mereka dampak konstelasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) lebih mengkristal, dibanding dengan konstelasi pemilihan yang lain, seperti Pilkada atau Pemilu Serentak sekalipun. 

Yang jelas para Kepala Desa ini berhasil memanfaatkan momentum tahun politik ini, untuk menekan legislatif dan eksekutif, yang pasti telah didesain cukup lama dan matang, dengan berbagai tujuan dan kepentingan politik, akhirnya demonstrasi puluhan ribu itu membuahkan hasil, akan dibahasnya usulan revisi Undang Undang Desa itu, selambat - lambatnya di tahun 2023 ini.

Pro Kontra Masyarakat
Sudah pasti setiap aksi, akan ada reaksi, sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat dan lembaga pemantau kebijakan Pemerintah dan publik atau LSM, pun ada yang bersikap kritis, namun juga tidak menampik formulasi point - point yang harus direvisi dalam Undang - Undang Desa tersebut, terutama masalah perpanjangan masa jabatan 9 tahun para Kepala Desa ini.

Masa jabatan 9 tahun, selama dua periode pemilihan, itu bagi Kepala Desa yang benar - benar mengabdi untuk membangun kesejahteraan warga Desa, tentu akan sangat didambakan oleh warganya, bahkan mereka seakan - akan minta dipimpin seumur hidup, saking cintanya kepada Kadesnya yang baik, jujur dan amanah dalam memimpin Desa.

Akan tetapi sebaliknya, bila mereka dipimpin oleh Kepala Desa, yang bersikap otoriter, angkuh dan hanya mementingkan pribadi dan kelompok timsesnya, atau bahkan menimbulkan kondisi pejabat pemerintahan di wilayah terkecil yang koruptif, ini akan menjadi neraka bagi seluruh warga, untuk itu dua kondisi pro kontra ini, harus benar - benar bisa dibahas, diinventarisir dan dicarikan solusi untuk perwujudan dan pencegahan kondisi negatifnya.

Efek Kejut Politik
Ketika puluhan ribu para Kepala Desa se Indonesia, yang tentu juga memiliki massa pemilih di belakangnya, membuat para petinggi politik di negeri ini, benar - benar berhitung, seberapa efek kejut politik ini berdampak dalam konstelasi Pemilu Serentak yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024 nanti. Semua partai politik akan ikut berusaha berselancar mengikuti ombak isu - isu yang berdampak massal ini. Hitung - hitungan politik akan benar - benar dipikirkan, untuk merebut simpati para Kepala Desa se Indonesia.

Sementara bagaimana dengan Presiden Jokowi, yang pada tahun yang sama, akan habis masa jabatannya nanti, untuk yang terakhir kali, sekilas memang nampak tidak terpengaruh, alias nothing to lose, akan tetapi efek kejut ini pun, harus menjadi perhatiannya, karena bila salah perhitungan, "jagonya" yang entah siapa, yang digadang - gadang bisa melanjutkan pembangunan, termasuk kebijakan perpindahan Ibu Kota Negara ini, dikhawatirkan bisa keok, bila tidak mengakomodir tuntutan puluhan ribu Kades se Indonesia ini.

Bak Buah Simalakama
Sekali lagi ini adalah keputusan yang sulit, bak memakan buah simalakama, untuk tidak diambil kebijakannya, tak disetujui atau ditolak akan berdampak pada elektabilitas politik, dan berimbas pada pelayanan masyarakat yang tidak profesional, karena kegalauan Kades, tapi bila diambil, konsekwensinya harus menyediakan anggaran yang cukup besar, sementara kondisi ekonomi global sedang tidak baik - baik saja, karena Pemerintah Pusat sedang mengupayakan percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Bila dilihat dari postur anggaran, di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2023, Dana Desa akan dikucurkan sebesar Rp. 70 Trilyun, untuk 74.961 Desa, dari total APBN kita, pada postur RAPBN 2023, anggaran belanja negara mencapai Rp3.041,7 triliun yang meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.230 triliun atau turun dari outlook tahun 2022 yang sebesar Rp.2.370 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp. 811,7 triliun, yang didalamnya termasuk Dana Desa, belum mencapai 10%, baru sekitar 8% dari dana transfer daerah tersebut.

Sementara untuk anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh Undang - Undang harus digelontorkan sebesar 20% dari APBN kita, dianggap tidak adil bila dibandingkan dengan beban tugas para Kepala Desa, yang mengklaim harus siap siaga 24 jam, untuk melayani warganya, yang rata - rata berjumlah ribuan. 
Sementara dalam pelaksanaannya pun, dalam penggunaan anggaran tersebut, mereka masih dibatasi dengan skala prioritas anggaran yang diatur dari Pemerintah Pusat dan Daerah.

Inilah salah satu yang mendasari mereka minta direvisi Undang - Undang Desa tersebut. Apapun alasan yang mendasari perlunya direvisi UU Desa itu, seyogyanya melihat dengan jernih, apakah nantinya bermanfaat sebesar - besarnya untuk masyarakat perdesaan se Indonesia, bukan hanya untuk hitung - hitungan politik semata. (Rome)





Posting Komentar

0 Komentar