Kelangkaan Pupuk saat memasuki masa tanam bisa mengancam program swasembada pangan dan ketahanan pangan nasional jika tidak segera diselesaikan oleh Pemerintah |
"Strategi Kades Botoreco, Kecamatan Kunduran, Sujono ini, patut ditiru dalam mencegah kelangkaan pupuk untuk warganya, yang mayoritas petani dan penggarap lahan hutan"
Kelangkaan Pupuk
BLORA, ME - Hampir setiap saat memasuki masa tanam, kelangkaan pupuk selalu terjadi di Kabupaten Blora. Keluhan itu semakin bertambah runyam dengan adanya Kartu Tani yang tidak terdistribusi merata sesuai data yang diajukan dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kecamatan (RDKK). Padahal Kartu Tani juga menjadi salah satu syarat dalam pembelian pupuk.
"Di samping keruwetan proses pembelian pupuk, ternyata pupuk bersubsidi pun seakan hilang dari pasaran, kalaupun ada harganya naik drastis, urea bersubsidi hingga Rp. 150 ribu per zak, padahal HETnya cuma Rp. 112, 5 ribu per zaknya, dan ditambah harus beli 2 kilogram pupuk NPK plus atau sejenisnya," ungkap Tito, salah seorang tokoh pemuda tani Blora.
Strategi Kades BotorecoSujono
Kades Botoreco
Sementara itu, strategi jitu diterapkan oleh Kepala Desa Botoreco, Kecamatan Kunduran, Sujono untuk mengantisipasi kelangkaan pupuk untuk warganya, yang mayoritas petani dan penggarap lahan hutan. Dengan memberi masukan kepada kelompok taninya, untuk terus menyerap pupuk setiap bulannya, meskipun tidak dibutuhkan karena tidak masa tanam.
"Panenan padi di sini setahun dua kali, sehingga ada tiga bulan, yang tidak diambil oleh petani, karena tidak masuk masa tanam, saya usulkan agar kelompok tani, tetap menyerap kuota bulanan dari pengecer Desa kami, untuk simpanan, sehingga kita ada cadangan pupuk," ungkapnya kepada Monitor Ekonomi, saat bertandang ke rumahnya, hari ini Sabtu siang (16/1/2020).
Kesalahan Semua Pihak
Menurut Kades Botoreco, semua pihak memiliki kesalahan, baik distributor, pengecer, maupun petani yang tidak mau mendaftarkan diri untuk masuk dalam RDKK, padahal kuota pupuk, sesuai dengan pengajuan data jumlah petani yang masuk dalam RDKK tersebut.
"Terkadang petani juga salah, karena tidak mau atau segera memasukkan datanya untuk penyusunan RDKK yang menjadi acuan kebutuhan pupuk, contoh di Dukuh kami, Nguter ada 259 petani, yang mengajukan untuk RDKK hanya 54 petani, semestinya ini tidak boleh terjadi, namun karena kami sudah menyerap sebelumnya, yaitu tiap bulan kami ambil, desa kami tidak terjadi kelangkaan pupuk, meskipun ada juga kekurangan tapi sedikit saja," ungkapnya kembali. (Rome)
0 Komentar