Kios teh yang menjamur perlu dibatasi dan masuk dalam kategori barang kena cukai
"Maraknya PKL ynng menjual minuman berpemanis dalam kemasan, mestinya dibatasi dan dikenakan pajak, yang tujuannya untuk mencegah meningkatnya prevelansi penyakit tidak menular di masyarakat, sekaligus untuk pendapatan negara bukan pajak, semacam bea cukai, mengapa harus dikenakan, karena termasuk bahan makanan yang bisa menimbulkan penyakit seperti diabetes mellitus, ironisnya yang menyukai minuman itu adalah anak - anak usia sekolah, sehingga mereka rawan terkena penyakit tersebut"
Upaya Pelayanan Kesehatan
BLORA, ME - Upaya Pemerintah baik pusat maupun daerah, untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan gratis melalui program Jaminan Sosial Nasional dari Badan Pengelolaan Jaminan Sosial Kesehatan (JSN-BPJS Kesehatan), harus diimbangi dengan sosialisasi aktif gerakan masyarakat untuk melaksanakan gaya hidup sehat, yaitu makanan bergizi, menjaga kebersihan lingkungan, dan berolahraga sesuai dengan kondisi tubuh., seluruhnya itu jelas menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Kesehatan beserta jajaran nomenklatur di bawahnya yaitu Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota, sebagai upaya pre emtif atau pencegahan penyakit.
Namun seberapapun kerasnya upaya promosi kesehatan tersebut di atas, tanpa diikuti pengaturan dan pembatasan perilaku hidup masyarakat atas konsumsi bahan - bahan yang dapat menimbulkan dampak untuk kesehatan, akan sia - sia belaka. Dampak nyata dari kondisi tidak sehatnya seseorang, atau masyarakat adalah tidak produktifnya untuk melakukan kegiatan ekonomi. Seperti contoh, terjadi pada satu keluarga yang apabila, kepala keluarga terjangkit penyakit tidak menular seperti stroke, paru - paru, diabetes dan jatung, kanker atau tumor, yang proses penyembuhannya memakan waktu cukup lama, itu pun bila harus dibiayai negara, akan menyedot anggaran yang tidak sedikit, sementara setoran iuran dari peserta BPJS Kesehatan mengalami defisit, maka dibutuhkan upaya pengumpulan pendapatan negara melalui bea cukai tersebut
Barang Kena Cukai
Seperti yang pernah disampaikan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai, yang menyampaikan dalam sosialisasinya, bahwa pengenaan barang kena cukai telah ada sejak jaman Hindia Belanda, sejak tahun 1886 Pemerintah Hindia Belanda telah memberlakukan pemungutan cukai atas minyak tanah, kemudian alkohol sulingan pada tahun 1898, kemudian minuman Bir pada tahun 1931, tembakau tahun 1932 dan gula pada tahun 1933, saat ini yang masih termasuk barang kena cukai adalah etanol, minuman yang mengandung etanol dan hasil tembakau, sementara gula dan minyak tanah sudah tidak termasuk barang kena cukai.
Kini, prevalensi masyarakat yang terkena penyakit tidak menular naik tinggi, bahkan juga menjangkit pada anak - anak, utamanya adalah gula dan gagal ginjal, akibat seringnya mengkonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang marak dijajakan di pinggir jalan, dan tidak teratur tata letaknya, sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas dan kenyamanan masyarakat, kembali ke masalah kesehatan, minuman berpemanis dalam kemasan itu akan berdampak membahayakan bagi masyarakat jika tidak dikendalikan dan dibatasi, selain itu perlu diberlakukan kembali sebagai barang kena cukai, untuk pembiayaan jaminan kesehatan masyarakat, seperti halnya cukai hasil tembakau yang digunakan sebagian besarnya untuk membiayai jaminan kesehatan masyarakat, untuk memperkuat pembiayaan program BPJS Kesehatan.
Pengusaha Kaya Rakyat Menderita
Tebaran kios - kios teh yang menjamur itu, ternyata adalah perusahaan waralaba, yang menggunakan pemanis dalam kemasan, dan dicampur dengan bahan soda yang semuanya masuk dalam kategori minuman berpemanis dalam kemasan, yang disukai dan dikonsumsi oleh anak - anak lebih dari satu gelas sehari, yang apabila dibiarkan maka anak - anak tersebut, dalam jangka panjangnya rawan terkena penyakit diabetes melitus, padahal batas konsumsi harian, menurut Badan Ksehatan Dunia (WHO) adalah 25 gram untuk anak - anak dan 50 gram untuk orang dewasa. kondisi itu, mengakibatkan Indonesia masuk dalam peringkat ke - 5 sebagai pengidap penyakit gula terbesar di dunia, yaitu 19,5 juta jiwa pada tahun 2021.
Satu kios waralaba itu dibandrol dengan harga yang bervariasi, tergantung besar kecilnya kios yang terbuat dari bahan galvanis dan pipa kotak, dengan tampilan kompak, rapi dan efisien, pemilik brand kios kaki lima tersebut mematok harga Rp. 25 - 35 juta per kios. keutungan lain adalah seluruh produk campuran teh, sirup, perasa dan pemanis lainnya, tidak boleh disediakan dari luar, tapi disupplay dari pemilik brand tersebut, satu bisnis yang menggiurkan dan menghasilkan pemilik brand menjadi pengusaha yang kaya raya, tetapi rakyat yang menjadi konsumennya akan menderita, jika tidak segera dilakukan pemungutan cukai, pembatasan dan pengawasan oleh Pemerintah, untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan tersebut, menjadi memperbanyak minum air putih yang jelas lebih menyehatkan. (rome)
0 Komentar