IKLAN




 

Ambigunya Pemerintah Daerah Sikapi Program KHDPK

Presiden Jokowi dialog bersama Petani Hutan Blora usai penyerahan SK PS KHDPK di Oro - Oro Kesongo

"Pemerintah Daerah dari Provinsi, Kabupaten dan Desa diduga masih ambigu atas perintah langsung Presiden Jokowi untuk sejahterakan petani hutan"

Kick Off KHDPK
Janji Presiden Jokowi untuk penataan hutan negara melalui program Perhutanan Sosial yang sempat jalan di tempat di Jawa, akhirnya dipercepat dengan penyerahan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar di tempat yang istimewa, di Kawasan Hutan Kesongo, Dukuh Pekuwon, Desa Gabusan, Blora, yang berdekatan dengan situs fenomena alam semburan lumpur gas Oro - Oro Kesongo, pada Jumat (10/3/2023) yang telah lalu.

Ini adalah kick off pengelolaan hutan negara di Pulau Jawa, untuk pelaksanaan Perhutanan Sosial Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), yang mana akan diserahkan kepada masyarakat Petani Hutan sebesar 1,1 Juta hektar, untuk menekan kemiskinan rakyat terutama warga yang berada di wilayah hutan.

Hal itu juga didasari atas gagalnya Perum Perhutani yang mengelola hutan negara, untuk memberikan kesejahteraan masyarakat dan menjaga fungsi konservasi alam, dibuktikan dengan kantong - kantong kemiskinan di seluruh wilayah tersebut, dan habisnya tutupan hijau di hutan negara tersebut, termasuk di wilayah Kabupaten Blora.

Hutan yang gundul di wilayah Kab. Blora

Kolonialis Era Kini
Wilayah Kabupaten Blora secara geografis memiliki cakupan hutan sebesar 90 Ribu hektar atau sekitar 49%, yang mana kondisinya sangat memiriskan, kurang dari 10% tutupan hijaunya, alias gundul akibat pembalakan liar yang masif, terstruktur dan sistematis, yang diduga dilakukan oleh oknum pengelolanya sendiri.

Bagi Aktifis dari Perkumpulan Rejo Semut Ireng Koordinator Wilayah Blora, Tejo Prabowo, jajaran Perhutani adalah kolonial yang menghisap darah dan keringat petani hutan yang disebut pesanggem di era kemerdekaan Bangsa ini, yang harus segera diakhiri masanya. Diduga mereka banyak melakukan penyelewengan dan korupsi, dengan melakukan pungutan liar kepada para pesanggem.

Dan itu didengar langsung oleh Presiden Jokowi saat berdialog dengan Yatimin, seorang pesanggem, yang menggarap lahan persilan di wilayah KPH Cepu, di depan Presiden, dirinya mengungkap dipungut uang agro setelah panen, tanpa ada bukti yang sah, sebagai bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Mata dan telinga Presiden Jokowi menjadi saksi betapa menderitanya mereka.

Harus Segera Diakhiri
Peristiwa 16.300 Petani Hutan di Oro - Oro Kesongo itu, membuka tabir buruknya pengelolaan hutan negara oleh Badan Usaha Milik Negara, yang justru bersikap seperti kolonial era reformasi, kekayaan hutan habis dan masyarakat semakin miskin, dan ini harus segera diakhiri dengan pelaksanaan program Perhutanan Sosial KHDPK, yang memberikan akses kepada warga Tani Hutan untuk mengelola lahan hutan sebesar maksimal 2 hektar selama 35 tahun, secara merdeka tanpa ada tekanan dari Perhutani.

Perintah Presiden Jokowi harus dijaga marwahnya, semua harus tunduk untuk melaksanakannya, termasuk SK Perhutanan Sosial Kementerian LHK, yang ditandatangani langsung oleh Menteri Siti Nurbaya Bakar, bukanlah SK abal - Abal, yang harus dilaksanakan oleh Perum Perhutani, Pemerintah Daerah dan Desa.

Namun sayang sekali, Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Desa masih bersikap ambigu, termasuk di Blora, kebijakan Presiden Jokowi untuk mensejahterakan rakyatnya para petani hutan, tidak ditanggapi dan ditangkap dengan baik, atas tingginya animo masyarakat untuk membentuk Kelompok Tani Hutan, justru tidak didampingi, malah sebaliknya berusaha dihambat, dengan alasan yang seakan mereka tidak paham birokrasi dan diskresi. Ini sungguh menggelikan, lalu untuk apa dan untuk siapa mereka duduk di depan mimbar bersama Presiden Jokowi kemarin?! (Rome)

Posting Komentar

0 Komentar