Tahun Politik
BLORA, ME - Memasuki tahun politik, tahun persiapan perhelatan akbar proses demokrasi bangsa kita, yaitu pelaksanaan Pemilihan Umum serentak, pada Selasa 14 Februari 2024 nanti, terus diwarnai dinamika politik dan sosial, yang entah terjadi secara spontan atau disusun dengan grand desain yang matang, kondisi masyarakat kalangan elite baik politik maupun pemerintahan, bisa dikatakan tidak kondusif, alias panas adem secara fluktuatif.
Turbulensi ini, kalau boleh dikatakan dimulai dari proses pencapresan Anies, oleh Partai Nasdem, yang notabene adalah koalisi dari Pemerintahan Jokowi, yang dibaca oleh para pengamat politik dan kebijakan publik, cukup membuat benturan antara kubu Surya Paloh dan Jokowi, yang sekali lagi diduga telah memiliki jago sendiri, untuk meneruskan pembangunan Ibukota Negara Nusantara.
Sebagai partai yang pernah mengusung Jokowi naik ke Istana dua kali berturut - turut, entah mengapa banyak kalangan bahkan di internalnya sendiri, langkah "mencapreskan" Anies adalah blunder politik, terlalu buru - buru dan tidak sesuai dengan semangat restorasi, yang menjadi jargon Partai Nasdem. Ok itu adalah pengamatan dalam skala politik nasional, fenomena lato - lato sudah berjalan.
Demo Kades
Selanjutnya mari kita bahas terkait fenomena lato - lato berikutnya, isu demo puluhan ribu Kepala Desa se Indonesia, yang menuntut revisi Undang Undang Desa, yang salah satunya adalah meminta perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun tiga kali periode, menjadi 9 tahun dua kali periode, dengan alasan itu adalah waktu yang ideal bagi Kades untuk membangun Desa.
Akan tetapi dari klausul tersebut, ternyata adalah hasil umpan wacana atau janji dari politisi elite pemenang Pemilu dua periode berturut - turut yaitu PDIP, seperti yang diungkap oleh Ketua DPP Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia, dalam wawancara program televisi nasional, mereka diberikan janji untuk revisi UU Desa, dengan imbalan dukungannya untuk memenangkan Partai PDIP, atau Partai manapun yang siap mewujudkan revisi UU Desa tersebut, menjadi nyata dalam pembahasan Prolegnas.
Sontak ini, mengejutkan partai - partai lain yang bisa jadi kalah cepat memainkan wacana tersebut di atas, buru - buru juga mereka melontarkan pro dan kontra di berbagai media sosial, elektronik maupun program - program wawancara live. Seperti Fahri Hamzah, mantan politisi PKS yang menolak wacana jabatan 9 tahun, menurutnya hal itu dianggap mencederai demokrasi. Kemudian Paguyuban Perangkat Desa Indonesia juga tidak mau kalah, mereka menolak masa kerja disamakan dengan kades, hanya 9 tahun.
Lalu bagaimana dengan suara rakyat? Pasti juga akan menuai pro kontra, fenomena lato - lato di desa pun terjadi. Belum lagi di kalangan aktifis LSM dan Pemerhati Kebijakan Publik, serta Lembaga Masyarakat Desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa, juga tidak sepakat wacana perpanjangan masa jabatan Kades tersebut, menurut mereka itu bukan suara rakyat Desa, tetapi itu adalah untuk kepentingan Kades sendiri, terutama yang telah menjabat tiga kali.
Dana Narasumber
Kegaduhan berikutnya adalah sorotan terkait anggaran untuk Narasumber Anggota Dewan, yang secara regulasi juga telah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020, terkait penetapan standar harga satuan regional yang meliputi satuan biaya : honorarium, perjalanan dinas dalam negeri, rapat/pertemuan di dalam dan di luar kantor, pengadaan kendaraan dinas, dan biaya pemeliharaan.
Oleh LSM Pemantau Keuangan Negara (PKN) telah dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi, dengan dugaan tindak pidana korupsi, anggaran dari APBD tahun 2021 yang mencapai Rp. 11 Milyar itu, diduga banyak kejanggalan, karena pada saat itu sedang marak - maraknya pandemi Covid 19 varian delta, dan Pemerintah Pusat menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, yang artinya ada larangan pengumpulan massa atau rapat terbuka untuk pencegahan penularan Covid 19, jadi PKN menduga dana narasumber tersebut ada setengahnya adalah fiktif, yang merugikan keuangan negara.
Oleh karena itu, laporan ini harus benar - benar dicermati baik oleh Aparat Penegak Hukum Kejaksaan Tinggi, maupun oleh Sekretariat Dewan DPRD Kabupaten Blora sendiri, untuk sama - sama membuktikan kebenaran materialnya. APH mencari bukti - bukti dalam pembuktian terbalik, sedangkan Setwan mencari bukti - bukti untuk mempertanggungjawabkan dana yang telah dicairkan tersebut. Agar clear and clean.
Sementara para anggota Dewan pun, jelas tidak terhindarkan mengalami fenomena lato - lato, saling berbenturan, karena sesuai data yang dirilis media cetak lokal Blora, terdapat perbedaan yang mencolok dari sisi pendapatan, ada tiga besar yang mendapatkan lebih dari Rp. 480 - Rp.500 juta, kemudian lebih dari Rp. 300 Juta, Rp. 200 juta, Rp. 100 Juta, dan yang paling kecil sebesar Rp. 28 Juta, atas nama Ketua DPRD Blora, HM Dasum. Perbedaan mencolok ini, jelas menimbulkan pertanyaan baik di internal maupun eksternal, ada apa dengan Dewan Blora?
Lalu kenapa bisa lolos mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan, sementara rakyat yang di bawah, para Perangkat Desa menjerit, karena belum mendapatkan haknya, alias penghasilan tetapnya, kemudian GTT dan PTT yang honornya sangat tidak layak, serta para petani yang menderita karena gagal panen, akibat banjir yang menggenangi sawahnya, dan masih banyak lagi jeritan suara rakyat. Maka dengarkanlah suara rakyatmu. (Rome)
0 Komentar