Pijakan Penegakan Hukum
BLORA, ME - Bahwa di dalam penegakan hukum, harus selalu menekankan pada segi-segi yuridis sebagai pijakan, untuk mencapai kepastian hukum, dalam arti para aparat penegak hukum (APH) tetap harus mengedepankan kepentingan masyarakat (culture law), meskipun dalam langkah penanganan perkara/kasus dengan melihat fakta di lapangan, khususnya di Kabupaten Blora.
Seperti yang telah terjadi dalam dugaan kasus Perades di Blora ini, diduga banyak para aparat desa/perangkat desa yang terindikasi, atau terduga telah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum, atau pelanggaran terhadap pasal 263, ayat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun bunyi pasal 263 itu, tentang perbuatan yang telah membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan/pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu dengan ancaman pidana paling lama 6 tahun.
Kewenangan Penyidik APH
Untuk langkah ini, aparat penegak hukum (APH) khususnya di Blora, sudah melaksanakan sesuai dengan prosedur yang belaku, sehingga proses baik dalam tahap penyidikan ataupun bab penuntutan, maupun untuk kepentingan pemeriksaan, di sidang pengadilan sudah berjalan, namun pada tahap-tahap tersebut, baik penyidik penuntut umum maupun hakim, tidak melakukan penahanan terhadap para tersangka/terdakwa yang diajukan ke persidangan.
Meskipun dalam hal ini sesuai dengan pasal 20 (ayat 1) KUHAP, bahwa dikatakan untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan pasal 20 (2), untuk kepentingan penuntutan penuntut umum berwenang melakukan penahanan/melakukan penahanan lanjutan, demikian pula pasal 20 (3) untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Atas dasar uraian tersebut dalam pasal 20 (1, 2 &3) menunjukkan para tersangka atau terdakwa dilakukan penahanan atau tidak, merupakan otoritas atau kewenangan dari aparat penegak hukum, padahal apabila dikaitkan dengan pendapat Lawrence M. Friedman dan Prof. Satjipto Raharjo, bahwa pusaran dari penegakkan hukum dalam kasus-kasus hukum, tergantung pada aparat penegak hukum (APH), yang bertugas menangani kasus-kasus tersebut, sehingga diharapkan para aparat penegak hukum, memiliki hati nurani, untuk mencapai rasa keadilan terutama masyarakat.
Pidana Pemalsuan Surat
Selanjutnya selain penerapan pasal 263 ayat 1, bagi pengguna yang melanggar pasal 263 ayat 2, diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang tidak benar atau yang dipalsu tersebut dalam ayat pertama seolah-olah benar dan tidak dipalsu atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran. Ternyata baik dalam penerapan pasal 263 ayat 1 maupun pasal 263 ayat 2, belum dilaksanakan sesuai tuntutan masyarakat, karena dari jumlah pengadaan Perades yang mencapai ratusan tersebut, baru dua yang sampai tahap persidangan, apalagi yang terindikasi melanggar pasal 263 ayat 2, satupun belum ada yang naik ke persidangan.
Di sisi lain yang sudah naik ke persidangan, tidak dilakukan penahanan, juga karena mendasarkan pasal 21 ayat 1 KUHAP, yang menurut aparat penegak hukum para tersangka/terdakwa tidak akan melarikan diri, tidak akan merusak/menghilangkan barang bukti, atau mengurangi tindak pidana, meskipun ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun pidana penjara, hal ini menunjukkan, bahwa penegakkan hukum dalam penyelesaian kasus-kasus Perades di Blora, masih banyak mengalami kendala.
Dan kendala tersebut terlihat dari masih relatif kecil atau sedikit, yang naik ke meja persidangan. Sesuai dengan pendapat Lawrence M. Friedman, bahwa kultur/budaya hukum, juga bisa mempengaruhi pada penegakkan hukum di satu daerah, khususnya di Blora, karena tuntutan masyarakat menginginkan penanganan terhadap kasus-kasus Perades tersebut, dapat diselesaikan secara tuntas, tanpa diskriminasi dalam penanganannya, sehingga dapat dicapai rasa keadilan masyarakat, sesuai dengan harapan masyarakat Blora.
Peran Serta Masyarakat
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999, tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, disini masyarakat bisa memberikan peran sertanya, dalam penyelenggaraan penegakan hukum, dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, mendapa payung hukum sebagaimana diuraikan dalam pasal 8 ayat 1, yang berbunyi: “Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Negara, merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat, untuk ikut serta mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih”
Berdasarkan itulah, sehingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun kumpulan masyarakat, bisa memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan penegakan hukum, khususnya di Blora tentang Perades dan peran masyarakat tersebut dalam pasal 9 ayat 1, sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk beberapa hak, yaitu : a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang Penyelenggara Negara. b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya, sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, saksi ahli, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari uraian tersebut diatas masyarakat mempunyai hak penuh, baik sebagai pelapor, saksi atau ahli, untuk memberikan keterangan-keterangan diberikan oleh aparat hukum, untuk itu sebagai kelompok masyarakat bisa memberikan kontribusi yang penuh, dan mempunyai peran untuk memberikan kontrol yang penuh terhadap kinerja para aparat penegak hukum (APH) di Kabupaten Blora dimaksud. (Dr./me)
0 Komentar