IKLAN




 

Singgih Hartono Beberkan Sejarah Wonorejo

Singgih Hartono (Foto: Muji Anggara)
Geger warga Wonorejo
Blora-ME, Baru - baru ini cerita lama kasus tanah di lahan Wonorejo kembali baik ke permukaan. Ribuan warga yang tinggal di lahan eks Perhutani itu berdemo, menuntut penerbitan sertifikat hak milik. Dengan merujuk PP Nomor 24 Tahun 1998. Mereka yang merasa telah menempati lahan itu selama puluhan tahun, menuntut proses pensertifikatan hak milik tanah seluas 81, 8 hektar, yang sejak tahun 1999 telah menjadi aset Pemda Blora, melalui proses tukar guling lahan dengan Perhutani. Kesuksesan Pemkab Blora dalam proses tukar guling tersebut, tidak lepas dari peran para investor yang mengupayakan lahan pengganti, salah satunya adalah Singgih Hartono. Media kesayangan anda beruntung dapat mewawancarai satu - satunya investor, sekaligus saksi sejarah tukar guling lahan Wonorejo.

Lahan milik Perhutani
Dalam wawancara di kediaman Singgih Hartono, menyampaikan sejarah perjalanan tukar guling tersebut diatas.
" Saya akan menyampaikan seluruh proses itu, dengan dasar fakta dan data yang saya miliki," paparnya, kemudian mengeluarkan seluruh dokumen - dokumen terkait. Dokumen itu tersimpan dengan sangat rapi, berisi surat - surat perjanjian, surat - surat Dinas Bupati pada saat itu, peta - peta, termasuk juga Salinan Putusan Pengadilan Negeri Blora.
" Saya sudah tua, makanya ini saya simpan betul, untuk pegangan saya," ungkapnya.
Dalam penjelasannya, Singgih menyampaikan bahwa lahan Wonorejo, itu adalah aset milik Perhutani.
" Pada tahun 1986, Perhutani hendak meminta aset lahan di Wonorejo, untuk dikelola sendiri, oleh Bupati pada saat itu, Soemarno berinisiatif untuk menggantinya dengan lahan - lahan atau tanah GG, dibeberapa desa yaitu, di wilayah Desa Bangkleyan, Sambongwangan, Randublatung, Plantungan, namun ditolak Perhutani, karena tanah tersebut berada di perkampungan yang sudah padat penduduknya," paparnya.

Peran investor lahan
Karena Pemerintah Kabupaten Blora tidak memiliki anggaran untuk mengganti lahan yang disyaratkan oleh Perhutani, yaitu harus berada menempel dengan hutan. Bupati Soemarno, kemudian membuat sayembara untuk menunjuk investor pembelian lahan pengganti. Kemudian hadirlah tiga investor pada saat itu tahun 1992, yaitu Waluyo, kontraktor lokal Blora, Suyanto, pengusaha bus Agung, dan Singgih Hartono, pengusaha beras. Dengan perjanjian pembagian hasil 65% untuk Pemerintah Blora dan 35% untuk ketiga investor tersebut diatas.
" Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian saat itu, yang menjadi syarat pengganti lahan milik Perhutani, kami dapatkan lahan di Tunjungan, Sendangharjo dan Nglangitan, kemudian proses dilanjutkan oleh Bupati berikutnya, Sukardi Hardjoprawiro, akhirnya pada tahun 1999 proses tukar guling selesai, Perhutani menerima lahan pengganti itu," paparnya.

Investor gugat Pemda
Kemudian Pemerintah Kabupaten Blora segera memproses sertifikat aset milik Negara itu, dan jadi pada tahun 2013 secara keseluruhan, yaitu seluas 81 hektar lebih itu, tanpa melihat perjanjian kami sebelumnya, hak kami sebesar 35% sebagai investor belum terpenuhi, luasan seluruhnya sertifikat atas nama Pemda Blora, akhirnya kami gugat Pemda dan Departemen Dalam Negeri untuk memberikan hak kami, sesuai dengan perjanjian yaitu 35%, padahal saat itu menghabiskan biaya Rp. 2 Milyar, bayangkan kalau harga sekarang berapa, tahun 2015 keputusan Pengadilan Negeri memenangkan kami, kemudian kami meminta bagian tanah paling belakang, seluas 28 hektar, dengan perjanjian kami tetap diberikan akses jalan masuk ke lahan kami," ungkapnya kembali. Saat disinggung terkait dengan dua investor yang telah meninggal dunia, apakah ahli warisnya mengetahui hal itu, Singgih mengaku sudah diketahui, dan telah dikuasakan untuk menyelesaikan sepenuhnya kepadanya.
" Dari awal mereka sudah memberikan kuasa kepada saya untuk mengurusnya, termasuk proses penyertifikatan tanah ini, ini masih dalam proses," ungkapnya.


Warga sudah ditawari
Saat dikonfirmasi terkait aksi demo warga Wonorejo kemarin, Singgih mengaku tidak terpengaruh apa - apa.
" Sebenarnya ini masalah klasik yang selalu diulang - ulang untuk kepentingan 5 tahunan, kalau pemerintah dianggap lalaikan nasib rakyat, sebenarnya tidak juga, dulu sudah pernah disusun gambar perencanaan atau master plan lahan tersebut, dikapling - kapling dan diajukan untuk membeli lahan yang ditempati oleh warga, dengan membeli lahan itu sesuai dengan nilai jual objek Pajak (NJOP) pada saat itu adalah sebesar Rp. 27.000 sampai Rp. 103.000 per meter persegi, tapi mereka hak memper ( gak tahu lalu ) masak mau dibayar sebesar Rp. 6000, 4000 sampai 3000 per meter persegi, untuk biaya pembelian kami jelas nggak nutup," ungkapnya lagi. (rome)



Posting Komentar

0 Komentar