Sejarah PG Blora
BLORA, ME - Sejarah pendirian Pabrik Gula di Blora cukup berliku, pahit dan getir pra hingga pasca operasionalnya ternyata selalu ada, mulai dari penyediaan lahan dari nama Pabrik Gula Gendhis Multi Manis yang dipimpin oleh Lie Kamajaya, hingga beralih kepemilikan oleh Perum Bulog, salah satu Badan Usaha Milik Negara yang kini beralih nama menjadi PG GMM Bulog di Desa Tinapan itu, dibeli dari hutang BRI sebesar Rp. 1,2 Trilyun.Pembangunan pabrik gula pertama di wilayah Blora, atau tepatnya di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan yang dimulai pada tahun 2014 itu, sempat diwarnai penolakan oleh warga, saat rencana pendirian menggunakan lahan seluas kurang lebih 26 Hektar, tanah bumi perkemahan Bentolo, yang notabene milik Pemerintah Kabupaten Blora.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Blora, Maulana Kusnanto pun bercerita, saat pendirian pabrik tersebut, dirinya sempat ragu untuk menandatangani persetujuannya, menurutnya petani Blora masih awam dalam penanaman komoditas tebu, karena kebiasaan petani Blora adalah menanam padi dan jagung.
Dirinya berharap, dengan berdirinya pabrik gula, komoditasnya terserap dengan harga yang lebih tinggi dari komoditas padi dan jagung. Sehingga kesejahteraan petani meningkat dengan menanam tebu meskipun masa panennya setahun sekali, dan akan tumbuh lagi secara ratun hingga empat sampai lima kali panen.
Lahan Semakin Luas
Meskipun awalnya diragukan, namun seiring waktu luas lahan tebu di Blora terus meningkat, saat ini mencapai 1500 hektar, di jaman sebelumnya juga tidak seindah dan semulus saat ini, namun petani masih mampu bertahan, untuk tetap.menanam komoditas bahan pangan untuk industri gula ini.
Harga menjadi titik krusial untung ruginya petani di komoditas ini. Setahun yang lalu PG GMM Bulog juga diprotes karena harganya terlalu rendah, bila dibandingkan dengan PG Trangkil, Rendeng dan KTM, harga masih jauh dari nilai keekonomian petani, sehingga APTRI Blora menuntut kenaikan harga, yang setara dengan PG lainnya.
Kini yang terjadi, PG GMM Bulog hentikan giling karena rusaknya perangkat vital yaitu dua boiler. Di sisi lain, meskipun dalam kondisi normal, rupanya PG GMM Bulog terus mengalami kerugian dalam setiap masa giling, saat ini total kerugian mencapai Rp. 134 Milyar, tak bisa dipungkiri siapapun yang memegang jabatan direksi pasti pusing tujuh keliling.
Namun saat dikonfirmasi kenapa tidak.ditutup permanen, Direktur Sri Amelia Murdaning dirinya hanya menunggu keputusan dari Pusat. Dirinya tetap akan menjalankan tugasnya, apabila memang masih diminta untuk bekerja. Apalagi ada kewajiban untuk membayar hutang di Bank milik Pemerintah itu sebesar Rp. 800 Milyar itu.
Seperti Buah Simalakama
Kondisi yang seperti ini, ibarat buah simalakama, dimakan mati bapak, tidak dimakan mati ibu, seperti yang terjadi PG GMM Bulog, yang saat ini, harus berjibaku membayar sisa hutang bunga dan pokok sebesar Rp. 800 Milyar, sementara produktifitas tidak menunjang.
Insiden rusaknya dua boiler itu memaksa pabrik gula Blora itu, tidak dapat melanjutkan giling, bak sudah jatuh ketimpa tangga, tidak bisa produksi gula, masih dihujat oleh para petani tebu yang gagal giling tahun ini di PG GMM Bulog Blora, dan keuangan terus mengalami kerugian dalam setiap tahunnya
Untuk itu, dibutuhkan solusi yang tepat dan cepat, untuk menyelamatkan dua - duanya, penyelamatan pabrik gula agar menjadi sehat sekaligus menyelamatkan petani tebu, tanamannya bisa diserap kembali untuk memenuhi kebutuhan swasembada gula nasional, Pemerintah Pusat harus hadir untuk memberikan solusinya.
Kesigapan DPRD Blora dalam menyerap aspirasi tersebut kini diuji, indikator keberhasilannya adalah, turunnya kebijakan pusat untuk memperbaiki tata kelola pabrik gula milik GMM Bulog, yang notabene adalah perusahaan plat merah dan memberikan rasa aman dan nyaman pada seluruh petani tebu di Blora, dan peluang untuk perbaikan itu tetap ada dan terbuka, jika manajemen dan koordinasi terjalin dengan baik antara PG GMM Bulog, Petani Tebu dan Pemerintah baik pusat maupun daerah. (Rome)
0 Komentar