"Pengencangan ikat pinggang untuk membiayai 2 program strategis nasional, yaitu Makan Bergizi Gratis dan Modal BPI Danantara menuai pro dan kontra, sentimen negatif bagi kelompok oposisi terus menyorot pelaksanaannya, sementara yang pro juga masih kesulitan bagaimana mengimplementasikan hasil refocusing anggaran dari pusat hingga daerah untuk mendongkrak ekonomi nasional"
Dampak Efisiensi Anggaran
BLORA, ME - Dampak Inpres Nomor 1 Tahun 2025, terkait efisiensi pengelolaan APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah melemahnya pertumbuhan ekonomi nasional, refokusing anggaran yang salah satunya untuk modal BPI Danantara pun direspon dengan anjloknya pasar saham, belum lagi PHK masif di industri tekstil, harus segera diantisipasi oleh Presiden Prabowo dan Kabinetnya, dengan peletakan strategi ekonomi pembiayaan yang tepat sasaran dan mampu membuka lapangan kerja, di sektor agroforestri program perhutanan sosial bisa menjadi jawabannya.Secara logika, efisiensi anggaran dari Pusat hingga daerah, mestinya bisa membuka ruang fiskal neraca keuangan nasional, hasil efisiensi lebih dari Rp. 300 Trilyun ini, ternyata malah berdampak pada pendapatan pajak yang terus menurun, akibat kelesuan ekonomi, sementara pembiayaan program pembangunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah bersama DPR, yaitu APBN tahun anggaran 2025 mengakibatkan tekor Rp. 31 Trilyun, meskipun sudah diefisiensi hanya dalam waktu 2 bulan setelah penetapan APBN Tahun Anggaran 2025, apakah itu tidak bisa dikatakan paradoks?
Di tahun yang sama, sektor industri manufaktur tekstil terbesar se Asia Tenggara dulunya, yang padat modal dan padat karya, PT Sri Tex harus tersungkur dan berakibat pemutusan hubungan kerja massal, status pailit sesuai Keputusan Pengadilan, akhirnya pabrik itu harus ditutup, dan 10.000 karyawan Sri Tex harus di PHK, meskipun beberapa Anggota Komisi IX mencurigai langkah pemutusan hubungan kerja tersebut sebagai bentuk persekongkolan jahat pengusaha.
Industri Dan Keuangan Anjlok
Apapun itu, semuanya sudah terdampak, terpuruknya industri tekstil Indonesia ditengarai oleh banjirnya produk - produk impor, akibat regulasi yang membuka keran seluas - luas produk luar negeri, terutama dari China, atas nama perdagangan digital (e - commerce) membuat industri manufaktur yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia, terpaksa harus gulung tikar, kondisi ini harus segera dibenahi dan diselesaikan.
Kembali di isu BPI Danantara, yang oleh kelompok ekonom oposisi masih bersikap skeptis, bahwa itu akan dikorupsi, sehingga beberapa kelompok pengusaha dan pengamat ekonomi pun masih tidak bisa mempercayainya, dan berakibat pada anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG] dan larinya investasi tersebut ke negara tetangga hingga Rp. 60 Trilyun.
Pemerintah Pusat pun menyikapinya dengan janji dan pembelaan diri, bahwa Danantara tidak akan dikorupsi, tanpa ada bukti regulasi hukuman mati dan penyitaan seluruh aset koruptor, ini adalah paradoks yang terus dibangun oleh Pemerintah Pusat. Diperparah dengan penundaan pelantikan Calon ASN dan Calon PPPK, yang dianggap suatu pengingkaran janji kampanye saat kompetisi Pilpres yang lalu, janji membuka 19 Juta lapangan kerja, namun kenyataannya PHK di mana - mana, oleh karena itu wajar, publik menilai ini adalah suatu paradoks.
Dikarenakan keuangan negara tidak mampu membiaya gaji, maka diusulkan penundaan pengangkatan ASN dan PPPK tersebut, bagaimana mungkin efisiensi untuk meningkatkan ruang fiskal, justru tidak seimbang dengan belanja APBN 2025, yang hanya dalam 2 bulan di awal tahun anggaran ini, mengalami defisit Rp. 31 Trilyun.
Petakan Potensi SDA
Untuk itu, Presiden Prabowo dan Kabinetnya diminta oleh para Badan Eksrkutif Mahasiswa se Indonesia untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut, dengan menggelar demo besar - besaran bertajuk "Indonesia Gelap", bisa ditanggapi dengan langkah konkrit, yaitu pengkajian ulang seluruh kebijakan yang berdampak ekonomi secara komperhensif, yang sejalan dengan kondisi dan potensi sumber daya alam yang ada, mesti diperhitungkan dengan matang, akurat dan tepat sasaran.
Khusus untuk BPI Danantara, yang proyeksinya untuk pembiayaan proyek strategis nasional hilirisasi sumber daya alam, di sektor pertambangan energi dan minerba pun masih dicurigai oleh publik, hanya menguntungkan oligarki, perlu diimbangi dengan kegiatan pembiayaan program yang bisa dinikmati oleh rakyat, seperti sektor pertanian, perkebunan dan industri kehutan. Potensi masih terbuka lebar, untuk mengembalikan perekonomian dan kepercayaan masyarakat.
Salah satunya adalah program Perhutanan Sosial, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Jawa. Di mana program ini telah dirancang sejak Presiden Jokowi, ditandai dengan penyerahan SK Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Blora (12/3/2024), yang semestinya ada redistribusi aset 1,1 Juta hektar untuk dikelola Petani Hutan setempat, namun hingga saat ini masih jauh dari target. Potensi inilah yang perlu dilanjutkan oleh Presiden Prabowo dan jajaran ekonomnya.
Mari berhitung, bila 1,1 juta hektar lahan dibiayai oleh Danantara untuk program agroforestri ketahanan pangan dan industri kayu olahan sebesar Rp. 15 juta per hektar, maka hanya membutuhkan Rp. 15 Trilyun saja, selain memberiikan modal kepada Petani untuk mengolah lahannya untuk memproduksi tanaman pangan, yang bisa diserap untuk konsumsi rakyat dan untuk pelalsanaan program makan bergizi gratis (MBG), juga dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas, bila per hektar digarap 10 petani, maka setidaknya adalah 10 Juta Petani/pekerja baru, belum multiplier efect di sektor industri pupuk dan obat - obatan pertanian, untuk pemeliharaan tanamannya.
Selain itu, Perum Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa sebesar 1,1 Juta hektar, juga perlu mendapatkan suntikan permodalan, untuk rehabilitasi hutan lestari dan industri kayu olahan yang lebih pendek umurnya, untuk meningkatkan perekonomian nasional, serta mendukung ketersediaan bahan baku industri kayu olahan yang berkelanjutan, dengan begitu, hutan sebagai paru - paru dunia bisa terjaga dari Indonesia, dan ini dihargai dunia Internasional dengan mengalirnya dana karbon sebagai kompensasinya. (Rome)
0 Komentar