IKLAN




 

H Supardi : "Perjuangan GTT Ibarat Nangis Gak Metu Lohe!"

Puluhan GTT Pengurus Progata Kabupaten Blora menyampaikan aspirasi dan jeritan hati akan nasib mereka kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Blora (Foto: Rome)

"Persoalan terkait kesejahteraan dan status untuk para Guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap (GTT/PTT) Blora, bak benang ruwet dan penuh liku. Aturan yang tumpang tindih membuat nasib mereka seolah tidak menentu, sementara di Kabupaten lain bisa menyelesaikan, mengapa di Blora seolah jalan di tempat"




Aris Budi Siswanto sampaikan
aspirasinya kepada Pimpinan DPRD
Audiensi GTT/PTT
BLORA, ME - Puluhan pengurus organisasi Progata se- Kabupaten Blora, yang diketuai oleh Aris Eko Siswanto, SPd,  menemui Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Blora. Untuk beraudiensi, mengadukan nasib 3000an anggota Guru Tidak Tetap dan Pegawai Tidak Tetap (GTT/PTT) yang mengabdi di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Blora. Sebagai tenaga pendidik di SD dan SMP di Blora. Keluhan mereka adalah menuntut peningkatan honor sesuai dengan upah minimum Kabupaten (UMK) dan status kepegawaian mereka agar bisa diangkat sebagai guru tetap yaitu menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) yang berhak untuk mendapatkan tunjangan pensiun, atau tunjangan profesi yang layak lainnya.

H. Supardi menganalogikan perjuangan GTT/PTT yang berat dan berliku penuh penderitaan hingga kering air mata (Foto: Rome)

Diterima Pimpinan Dewan
Rapat audiensi itu dilakukan di ruang rapat DPRD, Jalan Ahmad Yani, Blora pada hari Jumat (15/11/2019). Audiensi tersebut diterima langsung oleh Jajaran Pimpinan Dewan yang terdiri dari Ketua Blora, H.M. Dasum, SE, MMA, didampingi beberapa Wakil Ketuanya, Siswanto, SPd, MH dari Partai Golkar, Sakijan dari Partai Nasdem, Mustopa, SPd.I, dari PKB, serta Ahmad Labib Hilmy, dari PKB, selaku Ketua Komisi D, Drs. Mintohardjo, MSi, Sekretaris Komisi D, dan H. Supardi, Ketua Komisi A, keduanya dari Partai Golkar, yang membidangi pendidikan dan pemerintahan.
"Kami menerima permintaan audiensi dari Progata Blora, untuk mencari solusi yang terbaik terkait keluhan para GTT dan PTT di Blora, yang honornya sangat tidak layak itu, untuk itu saya hadirkan semua unsur pimpinan dan komisi yang terkait," ujar HM Dasum, Ketua DPRD Blora.

Gaji UMK Dan Status
Aris Eko Siswanto, selaku Ketua Paguyuban Honorer dan Guru Tidak Tetap (Progata) Kabupaten Blora, dengan terbata-bata menyampaikan harapan untuk peningkatan kesejahteraan dan status kepegawaian mereka.
"Kami ini ibarat anak hilang, tidak punya bapak dan ibu, padahal tugas dan beban kami sama, yaitu mendidik anak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hanya dengan honor Rp. 250 ribu per bulan, beban tugas kami dari jam mengajar, hingga menyusun laporan - laporan administrasi sekolah dan apapun, kecuali pengelolaan keuangan yang harus dilakukan oleh ASN," paparnya. "Selain status kami juga tidak jelas, puluhan tahun mengabdi tidak bisa naik status diangkat menjadi guru tetap atau ASN yang bisa dapat pensiun, atau sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak yang dibatasi usia maksimal 35 tahun, meskipun tidak dapat pensiun tapi gajinya UMK dan berhak dapat tunjangan profesi," tambahnya dengan penuh emosional.

Ketua Komisi D
Ahmad Labib Hilmy
Tumpang Tindih Aturan
Sementara itu, Ahmad Labib Hilmy, Ketua Komisi D, merasa prihatin dengan nasib ribuan GTT/PTT tersebut, namun tumpang tindih aturan yang membuat hal itu menjadi buntu.
"Harus dicarikan jalan tengah untuk menuntaskan masalah ini, yang pertama adalah masalah kesejahteraan dan kedua adalah status mereka, ini tidak bisa selesai bila tidak ada eksekusinya, dan yang jadi eksekutornya adalah eksekutif, diskusi ini harus intens duduk bersama, dan bersinergi juga dengan komisi A dan Badan Anggaran," ungkapnya.
Tanggapan juga disampaikan oleh H. Supardi, yang juga mantan Ketua Komisi D yang lalu. Menurutnya perjuangan nasib GTT/PTT Blora memang sangat berat dan penuh liku, karena tumpang tindih aturan.
"Memperjuangkan nasib GTT/PTT ini ibarat nangis gak metu lohe (kering air mata), benang ruwet ini sangat sulit untuk diurai, bertahun - tahun tidak ada perkembangan, stagnan karena tumpang tindih aturan, sehingga eksekutif sendiri tidak bisa mengambil keputusan, terkait nasib mereka, tapi ini harus terus diperjuangkan,  mereka layak mendapatkan penghidupan yang baik dan sesuai dengan pengabdian mereka," tandasnya. (Rome)

Posting Komentar

0 Komentar