IKLAN




 

Anomali Ekonomi Dan Sosial Adanya BPNT

Masuknya Kabupaten Blora sebagai peraih Bantuan Pangan Non Tunai terbesar dari Kementerian Sosial, berdampak anomali secara ekonomi maupun sosial bagi masyarakatnya sendiri. Hal ini terungkap setelah adanya pemeriksaan kasus dugaan E Warong fiktif oleh Mabes Polri, yang hingga kini terus berlangsung.

Terhitung bantuan data terakhir yang digelontorkan adalah sebesar Rp. 196, 5 Milyar per tahun, untuk 81 ribu lebih Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang menerimanya per bulan sebesar Rp. 200 ribu, melalui E Warung Gotong Royong yang disingkat E Warong tersebut.

Yang dimaksud dengan anomali ekonomi maupun sosial ini adalah, justru adanya bantuan ini, tidak membuat perekonomian warga kita tertolong, terutama pedagang pasar maupun warung non E Warong. Dikarenakan adanya praktek monopoli dan oligarki pengadaan paket sembako tersebut. Jadi murni keuntungan besar diraih oleh kapitalis yang memanfaatkan jabatan dan politik saat itu.

Kita ambil contoh pengadaan beras dan telur, yang baik dari segi harga dan kualitas barang secara terang benderang memberikan margin yang luar biasa besar untuk para supplayer, per bulan bisa meraup keuntungan yang luar biasa. Kita hitung saja harga beras medium di tingkat penggilingan padi Rp. 6500, yang penggilingan padi tersebut hanya meraih untung Rp. 300 per kilo, dijual dalam paket sembako Rp. 8000 - Rp. 9000 per kilo dikalikan 15 kilogram dikalikan jumlah KPM yang telah berkontrak melalui E Warong. 

Belum lagi harga telur yang juga fluktuatif tidak stabil, dan saat ini terus anjlok harganya, sehingga meresahkan para peternak ayam petelur, hal itu tidak berdampak sama sekali kepada para supplayer, karena ada kontrak harga yang tetap sebelumnya dengan hampir seluruh E Warong yang katanya untuk gotong royong menghidupkan ekonomi, justru membuat terpuruk para pedagang di pasar - pasar tradisional dan warung kelontong yang tidak mendapatkan kue kerjasama itu, justru menurut penyelidikan itu yang melanggar Pedoman Umum terkait KPL.

Seperti kita ketahui, nasib pedagang di pasar Sido Makmur Blora, pasar baru yang diresmikan akhir tahun 2019 yang lalu oleh Bupati Kokok, sungguh mengenaskan, pedagang sembako dan bumbu di kios Blok A dan Blok B, sunyi senyap tidak ada pengunjung, hampir setahun lebih ini, mereka terpaksa menutup kiosnya. Karena minimnya omzet penjualan, dan cenderung merugi. Sementara diluar dengan adanya BPNT, para supplayer yang notabene bukan pedagang meraup keuntungan luar biasa. Inilah anomali ekonomi yang nyata.

Sedangkan anomali sosial, terkait dengan ketidakakuratan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), masih ditemukan tidak tepat sasaran, dan verifikasi validasi yang tidak sesuai dengan arus bawah, adanya pengurangan jumlah penerima, sehingga menimbulkan konflik di tingkat Desa, dengan sasaran Kepala Desa dan Perangkat, yang dicurigai bertindak tidak adil dan tebang pilih. Sementara diatas, ada dugaan penyerapan anggaran seluruhnya.

Seluruhnya itu, adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah, namun juga tidak sulit bagi Pemerintah Kabupaten Blora, jika benar - benar mendengarkan aspirasi di bawah, maka akan berjalan dengan mudah, namun akan menjadi sulit dan menimbulkan masalah kembali, ketika prosesnya hanya untuk mengganti supplayer yang ada, dengan supplayer dari gerbongnya, atas nama balas budi politik pilkada, yang berarti akan membuat oligarki dan monopoli jilid baru. Wassalam. (Rome)

Posting Komentar

0 Komentar