IKLAN




 

Bertahan di Tengah Pandemi dan Produk Plastik


Bertahan Saat Pandemi

BLORA, ME - Perajin anyaman bambu di desa Sumurboto, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Jawa Tengah masih bertahan produksi di masa pandemi Covid-19.  Mereka enggan tergerus di tengah kembang maraknya perkakas serta perabotan plastik.

Meskipun sebagai pekerjaan sambilan, namun masih saja ditekuni secara turun-temurun  sehingga menjadi ikon industri rumahan berbasis kearifan lokal bagi pemerintah desa Sumurboto.     

Kerajinan anyaman bambu seperti membuat bakul nasi, dunak dan anting (wadah tempat makanan) di Desa Sumurboto cukup dikenal masyarakat baik dari dalam dan luar kabupaten Blora. Jika ada yang minat, mereka bisa datang ke desa Sumurboto dan pesan pada salah satu perajin.

“Tetap membuat karena ada pesanan. Saya sejak remaja sudah belajar membuat bakul bambu,” kata Dami (69), salah seorang perajin anyaman bambu, Minggu (18/10/2020). “Setiap hari dua buah bakul kecil. Ini pun sudah pesanan untuk acara hajatan,” imbuhnya.

Omzet Menurun Tajam

Dirinya mengaku, selama pandemi Covid-19, omzet penjualan kerajinan yang dibuat menurun.

“Menurun pesanan dibandingkan dengan sebelum Covid-19. Tapi saya tetap membuat, untuk stok, biasanya ada pedagang yang butuh dan beli dalam jumlah banyak,” tambahnya.

Harganya relatif murah dan terjangkau. Untuk bakul nasi berukuran kecil yaitu Rp2.500,00 hingga Rp3.000,00 per buah.     

“Murah, dari dahulu juga bertahan harganya. Bakul ini untuk wadah nasi dan lauk bagi warga yang punya hajat. Meskipun ada corona, tetap membuat dan mengerjakan di rumah,” terangnya.

Untuk bahan bambu apus, dirinya tidak kesulitan karena sudah ada pemasok yang datang kepada para perajin.     

“Alhamdulilah bisa menambah penghasilan keluarga,” kata dia.

Bersaing Dengan Plastik

Sementara itu Sakur (45), warga desa Sumurboto, mengaku saat ini produksi perajin perabotan anyaman bambu sudah kalah bersaing dengan plastik.   

“Sekarang ini sudah kalah bersaing dengan produk plastik. Tapi sejumlah perajin di desa Sumurboto masih bertahan. Meski tidak banyak, tapi masih laku dan dicari pembeli,” ucapnya.

Menurutnya, sebelum para perajin membuat anyaman terlebih dahulu disiapkan batang bambu apus kemudian dipotong dan dibuat sayatan sesuai kebutuhan. Seiring perkembangan, kata dia, ada beberapa warga yang membuat aneka kreasi, seperti wadah buah dengan berbagai variasi dan dunak dengan penyangga kayu.

“Kalau yang sudah variasi, harganya berbeda. Biasanya memang dipesan khusus,” terangnya.

Diungkapkannya, meski ada yang mengakui keterbatasan permodalan. Tetapi bukan menjadi penghalang saat mengisi waktu luang untuk memenuhi pesanan. Telaten dan semangat disertai ketrampilan khusus saat menganyam, merupakan modal utama agar hasilnya bisa maksimal, bertahan dan dikenal oleh masyarakat luas.

“Misalnya, untuk menyelesaikan satu buah dunak berukuran besar diperlukan waktu lebih kurang dua hari. Jika mendapat banyak pesanan, mereka mengerjakan bersama-sama kerabat dan keluarga lainnya,” ungkap dia.

Ikuti Protokol Kesehatan

Kepala Desa Sumurboto, Suprapti, mengungkapkan, selama masa pendemi Covid-19, para perajin anyaman bambu diminta patuh protokol kesehatan. Bahkan pihak Pemerintah Desa Sumurboto telah menyiapkan dan membagikan secara gratis tempat cuci tangan kepada semua warga sejak awal ada corona.

“Meskipun itu dikerjakan di rumah, tetap kita antisipasi. Diminta semua patuh protokol kesehatan,” jelasnya.  

Menurut dia, sejatinya  warga di wilayahnya sangat berpotensi untuk mengembangkan  produk anyaman bambu. Hanya saja dinilai sulit untuk maju karena beberapa faktor.

“Sangat bepotensi, tapi masih belum bisa maju, itu karena para perajin masih individual, artinya masih dilakukan pada perorangan tiap rumah, belum terbentuk kelompok. Tetapi meraka juga saling berinteraksi dan kerjasama jika ada pesanan dalam jumlah banyak,” ungkapnya.

Bukan Kerja Utama

Faktor lainnya adalah pekerjaan menganyam dilakukan bukan sebagai mata pencaharian pokok, melainkan sebagai penopang waktu luang ketika mereka sedang tidak menggarap sawah.

Kemudian, para perajin anyaman bambu, rata-rata sudah berusia tua. Sedangkan yang muda dinilai kurang minat untuk belajar menganyam bambu.

“Berbagai upaya sudah kami lakukan bersama pihak terkait. Harapannya, desa kami sebagai salah satu sentra kerajian anyaman bambu yang bertahan di Kabupaten Blora dan menarik warga untuk berkunjung. Semoga Covid-19 segera sirna,” jelasnya. (Rome)

Posting Komentar

0 Komentar